Saturday, November 18, 2006

INILAH JALANKU

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah [9]: 111)

Tampaknya menjadi pembenaran bahwasanya, hidup dan kehidupan bukanlah mutlak untuk makhluk itu sendiri. Allah Yang Maha Pencipta, dalam beberapa firman-Nya telah mendeklarasikan bahwa kehidupan ini adalah mutlak bagi eksistensi Allah semata. Sistem punish dan reward yang Allah tawarkan dalam kehidupan ini telah menjadi hal yang tidak terbantahkan, dengan tujuan penghambaan makhluk bagi-Nya. Ada neraka dan juga ada syurga, dan keduanya memiliki peta-peta yang jelas untuk mangerah kesana sebagai bagian kemutlakan eksistensi kehidupan ini. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.”


Hidup adalah pilihan
Banyak pilihan dalam hidup ini ada pria ada juga wanita. Ada kebaikan ada kejahatan. Ada kanak-kanak ada juga kedewasaan. Pilihan. Demikianlah kehidupan ini, senantiasa mementaskan lakon-lakon dengan pilihan. Pada dasarnya kehidupan ini, ber-sekenario-kan dua pilihan saja, dengan kontekstualnya masing-masing. Dan ternyata nilai nisbi dalam kehidupan ini didasari oleh pilihan. Lihatlah, betapa jenis kelamin adalah takdir dengan pilihan-Nya, namun manusia dengan keegoannya mampu merubah pilihan tersebut, yang wanita berupaya agar menjadi pria dengan sikap tomboinya. Atau pria dengan pilihan kesadarannya memilih menjadi waria. Ya, sebab hidup adalah pilihan.

Namun sesungguhnya pilihan tersebut tidak lain adalah ujian yang Allah datangkan kepada manusia. Kita sadar bahwa kehidupan ini, telah Allah rancang sedemikian rupa sehingga nilai keberuntungan manusia justru terletak pada pilihan yang sifatnya fitrah (baca: iman dan islam). Sebab keselarasan kehendak Allah dengan kehidupan manusia terletak pada nilai fitrah. Dan ketaatan kepada Allah adalah fitrah
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. al-Baqarah [2]: 214)

Orang-orang yang mempertahankan pilihannya pada nilai fitrah, sesungguhnya dia telah mendapatkan nikmat itu sendiri. Sungguh manusia yang beruntung adalah manusia yang Allah berikan kemudahan menemukan pilihan fitrahnya.

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah [1]: 6-7)

Nikmat itu bernama fitrah
Tidak semua manusia mendapatkan nikmat ini, oleh sebab itu risalah yang dibawa Rasulullah memuat juga juklak agar manusia mendapatkan nikmat tersebut. Yaitu dengan berikhtiar optimal untuk mendapatkannya. Ada juga prosesi-prosesi ikhtiar tersebut dilakukan oleh orang kedua, proses tersebut disebut dakwah.

Disadari atau tidak peradaban telah menggariskan bahwa akan tetap berseteru antara kebatilan dan kabajikan. Tidak jarang perseturuan ini telah membuat banyak korban peradaban: kekufuran, kemurtadan, kehinaan, dan kemaksiatan. Serta menjauhkannya manusia dari unsur-unsur hakiki kenikmatan yang Allah janjikan.

Keniscayaan dalam peran serta manusia untuk mengikutsertakan (baca berdakwah) manusia lainnya dalam menikmati kenikmatan adalah pilihan juga. Telah Allah janjikan, bagi orang-orang yang turut mengikutsertakan manusia lainnya dalam rangka mendapatkan nikmat dan mempertahankannya, berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai.

Inilah Jalanku
Imam as-Syahid Hasan al-Banna telah menyampaikan pesannya sebagai berikut:
”Jadilah kamu sebagai manusia seperti pohon mangga. Orang-orang melemparinya dengan batu. Tetapi dia membalasnya dengan melemparkan dengan buahnya.
Wahai ikhwanul muslimin, anda beramal hanya untuk dua tujuan: Supaya berhasil dan dapat menunaikan tugas kewajiban anda. Jika yang pertama gagal, artinya tidak ada orang menyambut seruan anda, janganlah melepaskan yang kedua, artinya anda harus tetap menunaikan kewajiban.”


"..Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.”(QS. ar-Ruum [30]: 47)

Maka inilah ikrarku:
”Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan. Dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata untuk Allah, Tuhan alam semesta, tiada sesuatu pun yang menyekutukan-Nya.”

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (QS. Yusuf [12]: 108)

Allahu ghoyatuna, Muhammad qudwatuna, al-Qur’an dusturuna, al-Mautu fi sabilillah asma ama nina.
Wallahu a’lam.

Thursday, October 05, 2006

Keterpilihan


Yup, keterpilihan. Sebuah hak sekaligus bentuk kepercayaan seseorang atau komunitas kepada individu tertentu. Banyak maksud dan tujuan dari keterpilihan tersebut. Entah itu dalam skala kecil ataupun besar. yang jelas keterpilihan haruslah disikapi dengan keluasan pemahaman dan kelapangan dada yang besar.

Saya sendiri, termasuk orang yang sering mengalami keterpilihan. Banyak sebab, teman-teman menunjuk saya. Yang sederhana seperti pribahasa Mankana usul fahuwa mas'ul (barang siapa yang memberikan usul, maka dia yang bertanggungjawab) dalam poin ini tidak hanya dapat disikapi sebagai bentuk hak, sebab barangkali orang-orang yang ada disekitar kita tidak lebih paham atau mengerti apa yang kita usulkan. yang jelas usul atau saran lebih di titik beratkan kepada buah pikir kita sendiri, yang notabene sebelumnya sudah kita analisa baik teroritis maupun praktis. Sehingga orang lain beranggapan kita lebih menguasainya. Namun pada kenyataanya, banyak didasari pada keengganan memikul tanggungjawab keterpilihan tersebut.

Dua kali. Dua kali saya "dipinang" oleh al-akh yang mengatasnamakan "syuro" untuk menjadi top leader di salah satu organisasi. Kedua-duanya dalam batas waktu kurang dari satu tahun, kedua-duanya pada akhirnya gagal. Sebab pada wilayah administratif masih ada yang harus saya penuhi. Berbagai rekayasa coba dibuat untuk menggolkan "pinangan" tersebut.

Keterpilihan, kadang membuat saya berpikir frontal ketika melihat keterpilihan tersebut lebih banyak didominasi oleh bentuk ketidaksiapan dalam menyiapkan, bahasa yang lebih sederhananya adalah pengkaderannya mandeg. Alih-alih, organisasi terkait justru memelihara sikap dan sifat maen tunjuk.

Walau atas nama "syuro" atau kepentingan organisasi, tetap saja keterpilihan yang disebabkan oleh mandegnya pengkaderan adalah sebuah keputusan yang tidak bijak. Pada saat yang sama, kita sering terjebak dalam frame ketokohan. Di sisi lain kita jadi malas menanam benih, dan lebih suka memetik buah.

Dalam ukuran-ukuran tertentu bolehlah orang yang dipilih tersebut dianggap mampu, tapi di sisi lain masih saja memberikan bekas bahwa keterpilihan tersebut memiliki celah, yang harus dibayar dengan kelapangan dada semua pihak dan sebuah PR besar bernama Pengkaderan. Jika hal ini tidak diselesaikan juga, barangkali tradisi maen tunjuk atau 4L (Lo Lagi - Lo Lagi) akan terus menerus terwariskan, mau tidak mau!

Wallahu a'lam.

Friday, September 29, 2006

dan Tupai pun Jatuh...

Langit Satria merona merah, sebab sesaat kemudian matahari harus berganti rambulan. Sunnatullah. Saat itu detik-detik takdir mulai berada di ujung jari sang Khaliq, setelah Malaikat-malaikat Ashar Lalu lalang, bercerita kisah bani adam di penghujung hari.

Ah... Aku terhempas di antara puing-puing Satria yang semakin genit dan tak sabar belajar bersolek. Merayu, menjelma menjadi cengkeraman.

dan... kamuflase itu bernama Panah-panah Setan

Allah, Engkau suguhkan "biduan-biduan" dunia hingga aku terperanjat dan terjerat.

Allah, maka suguhkan aku kembali dengan nikmat-nikmat kehalalan dalam cawan dakwah, dan sendok tarbiyah.

Agar lelahku berganti ghirah khouf dan roja MahabbahMu.

Wednesday, August 16, 2006

MEMIMPIN UMAT ADALAH PUNCAK PRESTASI RABBANI MANUSIA DI DUNIA

Oleh : Al-Ustadz Musyaffa Ahmad Rahim, Lc.


"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (Dia berkata) : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Âli `Imrân [3]: 79)

Ikhwati fillah …

Kalau kita tengok sejarah kaum muslimin, paling tidak di negeri ini, kita akan menemukan bahwa sebagian besar pejuang dan pahlawan negeri ini adalah kaum muslimin. Lihat misalnya: Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar dan lain-lain.

Bukan hanya para pejuang yang sebagian besar muslim, bahkan, slogan atau syi`ar yang diangkat pun adalah slogan dan syi`ar agama. Misalnya: Pangeran Diponegoro mengangkat dirinya sebagai khalîfatullâh fi ardhihi, juga bergelar: sayyidin panotogomo (pemimpin yang menata kehidupan beragama).

Termasuk juga saat perjuangan revolusi kemerdekaan. Melalui radio yang ada pada waktu itu, Bung Tomo selalu mengumandangkan takbir Allâhu Akbar untuk memanggil kaum muslimin terjun ke medan perjuangan, membangun dan memompa semangat mereka, dan hasilnya bisa kita baca dalam kisah-kisah heroik perjuangan arek-arek Suroboyo pada tanggal 10 November 1945. Saking hebatnya daya juang mereka inilah, tanggal ini ditetapkan sebagai hari pahlawan Republik Indonesia.

Akan tetapi, pasca perjuangan ini, banyak para kiai berserta para santrinya "kembali" ke pesantren, untuk mengurus pendidikan agama (Islam), kembali kepada kegiatan belajar dan mengajar, "menyerahkan" urusan kepemimpinan umat ini kepada "orang lain". Ada banyak alasan yang dikemukakan untuk membenarkan atau men-justifikasi hal ini, di antaranya adalah bahwa urusan kepemimpinan umat itu adalah bagian dari politik dan politik itu kotor, sudah seyogyanya agama dijauhkan dan "dibersihkan" atau dijaga kebersihannya dari hal-hal yang kotor.

Ada satu kisah lagi yang menarik untuk kita renungkan :

Adalah seorang ustadz yang sehari-hari mengajar para mahasiswa di perguruan tinggi. Suatu saat ia mendapatkan "anugrah" untuk menjadi seorang pejabat yang lumayan tinggi kedudukannya. Karena inilah ia "meninggalkan" dunia mengajarnya. Seorang ustadz lain berkomentar: "kenapa ia meninggalkan medan juang ajar mengajar dan menerjunkan diri dalam dunia politik? Dunia ajar mengajar lebih maslahat bagi Islam dan kaum muslimin!".

Dua kisah di atas, dan juga kisah-kisah lainnya menggambarkan bahwa ada "dikotomi" antara dunia ajar mengajar agama (Islam) dengan dunia politik, seakan kita yang selalu berusaha menolak pola pikir sekularisme dengan gigih, sering sekali terjebak pada prilaku sekularisme itu sendiri saat bersikap, berkomentar dan menyetel kehidupan kita dengan cara mendikotomikan dua kehidupan tersebut.

Ikhwati fillah ...

Ayat yang kita kutip di atas menegaskan bahwa tidak ada seorang ulama` yang menguasai ilmu kitab Allah, atau mendapatkan hikmah dari Allah SWT, atau diangkat menjadi nabi dan rasul, kecuali mereka menyeru kepada kaumnya agar mereka menjadi manusia-manusia rabbânî.

Secara eksplisit, sifat manusia rabbânî –sebagaimana dimaksud oleh ayat 79 surat Âli `Imrân adalah mereka yang secara kontinyu dan rutin (istilah Arabnya: tajaddud wa al-istimrâr) melakukan dua hal, yaitu :

1. Dirâsat al-kitâb (mengaji, belajar dan mengkaji kitab Allah SWT), dan
2. Ta`lîm al-kitâb (mengajarkan kitab Allah SWT).

Namun, ada satu kajian yang sangat menarik yang dilakukan oleh Imâm al-Mufassirîn (pemimpin para ahli tafsir), yaitu Ibnu Jarîr al-Thabarî (224 – 310 H).

Dalam kitabnya; Jâmi` al-Bayân fî ta'wîl Al-Qur'ân, vol. 3, hal. 351 – 354 (Kairo: Dâr al-Taufîqiyah), setelah ia menjelaskan beragam pendapat `ulama' dalam hal ini, ia sampai kepada kesimpulan sebagai berikut :

1. Rabbânî adalah level atau mustawâ yang lebih tinggi dari sekedar al-fiqh (memahami agama) dan al-`ilm (ilmu atau penguasaan kitab Allah).
2. Rabbânî seseorang yang menggabungkan antara al-fiqh dan al-`ilm dengan:
a. Al-Bashira bi al-siyâsah (melek, bahkan, sangat melek politik)
b. Al-Bashira bi al-tadbîr (melek, bahkan, sangat melek terhadap manajemen, dan kepemimpinan)
c. Al-Qiyâm bi syu-ûn al-ra`iyyah wa mâ yushlihuhum fî dun-yâhum wa dînihim (melaksanakan dan menjalankan segala urusan rakyat dan segala hal yang membawa kemaslahatan mereka, baik dalam kehidupan dunia mereka maupun kehidupan agama mereka). (lihat hal. 353).

Dengan demikian, Rabbânî adalah sandaran manusia dalam al-fiqh, al-`ilm dan berbagai urusan agama dan dunia (lihat pada halaman yang sama).

Ibnu Jarîr al-Thabarî menyandarkan kesimpulannya pada dua hal, yaitu :

1. Sandaran bahasa.
2. Sandaran kepada salaf.

Secara bahasa kata Rabbânî adalah bentuk nisbat dari kata Rabbân. Sedangkan kata Rabbân adalah bentuk mubâlaghah (hiperbolis) dari kata Râbbî, yaitu isim fâ`il dari fi`il rabba – yarubbu yang artinya adalah seseorang yang mentarbiyah manusia, dalam arti mengurus segala kemaslahatan urusan mereka, menumbuh kembangkannya dan melaksanakan atau menjalankan segala urusan itu untuk mereka.

Ibnu Jarîr –rahimahullâh- tidak hanya menyandarkan pendapatnya kepada kajian bahasa semata, akan tetapi, ia juga merujuk kepada salaf al-shâlih. Dalam hal ini ia merujuk kepada perkataan Mujâhid (21 – 102 H), seorang murid handal Ibn `Abbas –radhiyâllâhu `anhu- dan juga seorang ulama' tâbi`in yang menjadi rujukan utama dalam tafsîr Al-Qur'ân. Mujâhid berpendapat bahwa Rabbânî adalah level di atas al-ahbâr (para `ulama').

Dengan pendapatnya ini, Ibnu Jarîr tidak berarti menafikan adanya pendapat-pendapat lain tentang maksud rabbânî, akan tetapi, justru ia mengadopsi pendapat-pendapat yang ada.

Terkait hal ini ia berkata yang artinya:

"Seorang yang `âLIM FIQIH dan HIKMAH adalah bagian dari al-mushlihîn (pembaharu, orang-orang yang membawa dan mendatangkan mashlahat), ia adalah seseorang yang mentarbiyah segala urusan manusia dengan cara mengajarkan segala macam kebaikan kepada mereka, juga menyeru mereka kepada segala hal yang membawa kemaslahatan bagi mereka, dengan demikian, ia adalah SEORANG YANG PENUH HIKMAH yang BERTAQWA KEPADA ALLAH SWT, ia adalah SEORANG WALI (PENGUASA, PEMIMPIN) yang mengurus segala urusan manusia agar berjalan di atas minhaj yang menjadi pilihan ORANG-ORANG YANG ADIL yang memperbaiki segala urusan manusia dengan cara melaksanakannya di tengah-tengah mereka, urusan yang mendatangkan kemaslahan dan manfaat dunia dan akhirat mereka [1]. (lihat pada halaman yang sama dari kitab Ibn Jarir).

Ikhwati fillah …

Bila kajian Ibnu Jarîr ini kita kaitkan dengan tarikh (sejarah), kita akan mendapati bahwa tidak ada seorang nabi kecuali ia menjadi pemimpin umat, bukan sekedar pemimpin "agama", akan tetapi juga pemimpin duniawi mereka, lihat misalnya nabi Yusuf -`alaihi al-salâm-, ia pernah menjadi menteri yang mandatangkan kemakmuran bagi penduduk Mesir dan sekitarnya, lihat pula nabi Dâwûd dan nabi Sulaimân -`alaihimâ al-salâm-, dan lihat pula nabi kita Muhammad –shallallâhu `alaihi wa sallam-

Lihat pula kisah Abû Bakat al-Shiddîq, `Umar bin al-Khaththâb, Utsmân bin al-`Affân, `Alî bin Abî Thâlib –radhiyallâhu `anhum-, yang pernah menjadi khalîfah dan amîr al-mukminîn. Juga banyak sahabat nabi yang "puncak kariernya" pernah menjadi gubernor (wâlî), semuanya ini menjelaskan bahwa mereka tidak hanya mengurus kehidupan "agama" manusia, akan tetapi juga mengurus "dunia" mereka.

Dan sebagai penutup taujih ini, marilah kita renungkan, kita hayati dan kita amalkan do`a qur'ânî ini:

"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqân [25]: 74).

--------------------
Tanda baca:
Fathah panjang: â, contoh: إِمَام ditulis: imâm
Kasrah panjang atau ya' nisbat: î, contoh: كَرِيْم ditulis: karîm. Contoh lain: إِنْسَانِيّ ditulis: insânî
Dhammah panjang: û, contoh: صَبُوْر ditulis: shabûr

Thursday, May 11, 2006

b ur self!

be your self

Jadilah diri sendiri, sebab kita adalah makhluk unik dengan segala kekhasannya. Kita dilahirkan dengan potensi yang sama namun memiliki kekhasan tersendiri. Tidak penting apa jenis kelamin kita, apa suku kita, kaya atau miskin, yang jelas saya adalah saya; kamu adalah kamu dengan keunikan tersendiri.

Tidak jarang kita berpikir keras kenapa kita dilahirkan tidak sesuai dengan apa yang kita anggap ideal. Senantiasa pertanyaan: kenapa Tuhan melahirkan saya di tengah keluarga seperti ini? Kenapa suku ini? Kenapa dia periang sedangkan saya pemalu? dan pertanyaan lainnya yang mencoba menggugat apa yang disebut kenyataan. Namun demikian, eksistensi manusia di muka bumi ini justru karena kemajemukan dan keunikan individu-individunya. Perbedaan-perbedaan satu dengan lainnya adalah saling melengkapi, berjasa satu dengan lainnya, agar seimbang dan dinamis.

Kekhasan diri kita -dengan segala predikat tabiat yang melekat pada diri kita- adalah harga. Yang dengannya kita membeli banyak pilihan dalam hidup. Maka menjadi orang yang lahir dengan tabiat keras, tidak selalu salah. Terlahir dengan bawaan pemalu, tidak selamanya keliru. TUmbuh menjadi orang besar, haus prestasi, dan cinta keindahan, tiada sepenuhnya salah. Asal semua tabiat khasnya itu untuk kebaikan.

Setiap kita lahir dengan kelebihan masing-masing. Tidak ada orang yang hidup, kecuali ia telah memiliki kelebihannya. Keterbatasan justru memberi kita perbedaan. Manusia ada yang hebat dan ada yang biasa-biasa saja. Tetapi masing-masing adalah keunikan. Sebab menjadi khas tidak harus hebat. Meski sejatinya menjadi unik adalah kehebatan alami sendiri.

Orang lain menghargai kita bukan karena kita senantiasa mengikuti apa yang diinginkan orang lain tersebut. Plin-plan. Tapi kesungguhan dan karakter yang khaslah yang menjadikan kita dihargai orang lain. Pendirian kita, dan keteguhan terhadap apa yang kita yakini (tentunya yang positif) adalah bayarannya.

Maka mengapa kita risau dengan apa yang tidak kita miliki, tapi buta untuk mengenal dan mengambangkan kekhasan (bakat, tabiat) kita. Jadi: "Apa jadinya dunia tanpa saya?"

----



(beberapa paragraf diambil dari Tarbawi 2004)

Saturday, April 29, 2006

Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku akhlak Muhammad!". Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!." Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini..." Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. al-Qalam [68]: 4)"

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa "Humairah" oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan al-Qur'an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi jika ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS al-Mu'minun [23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Jika mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua perilakunya indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, 'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'" Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad jualah yang membuat khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, "berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut jika wahyu turun dan mengecam mereka.

Untuk sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita jika orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah jika mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Jika kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan, "Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan."

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." "Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik."

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Penulis pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: "Angkat al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar, "Tidak, angkatlah al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata kepada Umar, "Kamu hanya ingin membantah aku saja," Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya." (QS. al-Hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, "Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami"

Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada di antara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisiku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan jika Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah...

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, "Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah...?" Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "benar ya Rasul!"

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, "Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!". Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Dalam tulisan ini penulis pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah. "Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah"
Wallahu a'lam bish-showab.
[Labbaik 9/15, 280406]

Sunday, April 02, 2006

Pemuda, Inilah momentum kita!


PEMUDA, INILAH MEMONTUM KITA!



Siapa yang tidak mengenal MTV?! Tampaknya dunia ini tidak akan pernah bisa terpisahkan dengan musik, begitupun dengan televisi. Lihat, di perkampungan kecil, walau rumah beratapkan seng tetapi berhiaskan antena parabola. Inilah kenyataan hari ini.
Begitu naif kehidupan kita, seorang lelaki mati dihakimi massa setelah tertangkap basah mencuri ayam, yang notabene harganya tidak lebih mahal tarif salon-salon kecantikan. Di lain sisi paradoks hukum kita begitu menggurat jelas, seorang koruptor dengan santainya bisa keluar masuk bank dengan membobol milyaran rupiah, tanpa takut dihakimi massa.
Inilah kenyataannya, ratusan anak yang lahir dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai, memaksa mereka berderat teratur di lampu-lampu merah, atau menjadi "penyanyi" ala kadarnya, demi sesuap nasi. Paradoks, pameran-pameran mobil hampir setiap bulan menghiasi sudut-sudut aula, tidak ketinggalan tayangan iklan mobil dan juga motor tiada hentinya hadir di televisi kita.
Kemudian di sudut sana, anak-anak berperut buncit, bukan karena kekenyangan, semakin bertambah teratur menghiasi laporan-laporan kesehatan di puskesmas yang di tinggal dokternya, karena gajinya sedikit.

Dan sungguh melenakkan kegemaran kita berkutat dengan transparansi-transparansi kuliah, tanpa paham isinya, sementara begitu banyak antrian sarjana pencari kerja. Mereka hanya berbekal kertas berjudulkan ijazah tetapi tidak memiliki skill sama sekali, bahkan keilmuan mereka ditanyakan, sebab kuliah mereka cuma sekedar titip absen dan copy-paste laporan. Sungguh memalukan!
Rakyat yang bersusah payah menyubsidi kuliah kita, tapi kita justru meracuni rakyat dengan tugas terstruktur bodong, hasil catut kakak kelas.

Paradoks. Di bumi barat sana, bangsa-bangsa yang mengaku pilihan, semakin maju, kepandaian mereka rata-rata setaraf dengan kepandaian para doktor Indonesia. Walaupun mereka tidak mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, mereka tetap memiliki pola berpikir maju. Jika kita amati, kondisi ini merupakan kondisi yang sudah direncanakan:

Negara-negara berkembang sekelas Indonesia dicekoki MTV dan hamburger, agar para pemudanya manja dan cengeng, sebab dininabobokan dengan musik tidak karuan MTV dan disuguhi makanan sampah, yang bagi mereka inilah moderenisme ala barat. Padahal sepeser demi sepeser uang yang dibelanjakan untuk hamburger akan dibelikan senapan yang akan menembaki anak-anak muslim di belahan jazirah Arab sana, dan kita malah asik – tidak menghiraukan sayatan tangis bocah yang ditinggal ibunya karena di rudal si La'natullah kufar – stasiun-stasiun radio kacangan atau mengumpulkan pin-up para "idola".

Lalu, siapa kita?
Lelaki yang termenung di pagi hari untuk sekedar memikirkan apa yang akan dikatakan kepada sang kekasih nanti saat janjian. Atau perempuan yang sibuk menjadi kolektor ulung majalah sampah, mengumpulkan gambar ganteng si A atau si cute B. Siapa kita?
Sungguh kita adalah putra-putri Islam, yang dilahirkan atas Iradah Allah untuk berbuat yang terbaik. Menyeru kepada kemuliaan hidup dengan bekal sirah, dan memimpin manusia menuju cahaya keabadian dengan al-Qur'an sebagai pedoman.

Wahai pemuda! Kalian dilahirkan dari rahim ibu yang mungkin ummi terhadap masalah ini, juga dibimbing ayah yang mungkin kolot taklid leluhur. Tetapi kalian adalah manusia yang lain, yang berbeda secara potensi dan kesempatan dengan orang-orang tua kita. Maka tidak ada alasan hanya berdiam di lubang-lubang alasan ketidakberdayaan. Sungguh pemuda adalah harapan.

Sungguh, kita harus meyakini Islam yang kita anut adalah kunci hakikat kehidupan ini, yang tanpanya kita tidak akan mampu masuk dan memahai kehidupan ini. Bahkan, barangkali kita akan terus-menerus dihujani kejahiliyaan peradaban, dan disirami cahaya panas kemungkaran. Maka, seharusnya tidak ada ruang-ruang keraguan di hati kita terhadap Islam.
Rasulullah, adalah pemimpin para pemuda. Dengan tanggannya beliau telah membuktikan bahwa dunia dengan peradabannya bisa dirubah dengan kekuatan para pemuda. Kisah fenomenal Mushab bin Umair dengan tangannya mengkondisikan kota peradaban Islam, Madinah. Atau kisah heroik Sholahudin al-Ayubi dengan pedangnya merebut kembali masjid suci al-Aqsha.

Itulah tabiat Islam. Menjadikan si pengecut berubah menjadi si pemberani, merubah si keras Umar menjadi sosok bijak. Atau merubah kehinaan budak di kubangan tradisi quraisy, Bilal, menjadi sosok istimewa penghibur Rasulullah dan ummat.

Pemuda, inilah momentum kita!
Fisik kita adalah fisik terkuat dari yang dimiliki usia manusia. Akal kita adalah akal tertajam, dan harapan-harapan juga kesempatan potensi waktu dan usia kita adalah potensi terbesar dari rangkaian usia manusia. Dan Islam menyempurnakannya dengan sandaran dan pertolongan Zat yang memiliki dunia ini, maka berpikir dan berkaryalah untuk bangsa dan ummat. Jangan tunggu esok! karena esok adalah kesempatan yang masih tersamarkan, dan jangan pula terlalu lama bernostalgia dengan hari kemarin. Raihlah hari ini dengan amal yang sempurna. Maka kejayaan ummat akan terbit atas tangan-tangan kita.

Pemuda, kitalah pembaharu ummat. Ummat yang kita sedang sakit, akan kita obati dengan Islam yang kita emban. Yaitu Islam yang bersih dari campur tangan manusia dan dari segala kecacatan. Islam yang universal, menyeluruh, tidak parsial, tidak bercampur bid'ah, takhayul, dan khurafat.
Kita jualah generasi penerus itu. Kitalah generasi penerus para Nabi, maka kita harus benar-benar meninfakan jiwa dan raga kita untuk Islam hingga syahid di jalan Allah. Tapi pahamilah kita bukanlah generasi penerus tradisi/nenek moyang kita yang jahil, yang tidak mau menerima dan mengikuti petunjuk Allah. Kita tidak boleh meneruskan kebodohan tradisi leluhur. Kita harus benar-benar membenamkan diri pada kemurnian Islam.
Wahai generasi pengganti! Setiap peran yang kita miliki harus dapat merealisasikan kemaslahatan ummat, membawa ummat kearah kemuliaan, kedamaian, dan keadilan. Generasi yang mencintai Allan dan kelak Allah pun mencintai kita. Kita akan menggantikan kelemahan dengan kekuatan, kebodohan dengan ketajaman akal adn akhlaq mulia.
"Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui." (QS. al-Maa-idah: 54)
Wahai pemuda, maka bersiap-siagalah. Karena kita adalah komponen pengubah. Kita harus mampu mengubah kemungkaran dalam diri kita, keluarga, masyarakat, dan ummat.
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. at-Taubah: 71)

Apapun yang kita miliki, sekecil apapun peran kita, sungguh ummat terlanjur menopangkan harapan di pundak para pemuda. Maka tidak ada kata berhenti untuk beramal dan memperbaiki ummat.



Wallahu a'lam bish-showab
Mail to: abdu_thoyyib@yahoo.com

Wednesday, March 29, 2006

RAHASIA PERADABAN ELEGAN

Keteladanan diri, merupakan kunci kesuksesan perjuangan Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi penerusnya. Ketika jiwa keteladanan itu lenyap dari diri ummat, maka muncullah tanda-tanda kemunduran dan kehancuran. Kata-kata Rasulullah SAW ‘Mulailah dari dirimu sendiri’ mempunyai makna strategis dalam perjuangan mengusung syariat Islam yang agung ini. Ini menunjukkan sebuah makna jika seseorang bertekad akan membersihkan system masyarakat dan negara dari nilai-nilai kejahiliyahan, maka langkah pertama adalah membersihkan dirinya sendiri.

Ummahatul Mukminin ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah menjawab, “Akhlak beliau adalah al-Qur’an”. Tanpa membaca atau mendengar al-Qur’an sebelumnya, manusia dapat mengetahui Wahyu Illahi dari akhlak Rasulullah SAW. Seyogyanya memang tidak boleh ada hijab (sekat) antara kaum muslimin dengan ajaran yang dianutnya, sangat disayangkan jika kaum muslimin justru menampilkan sikap-sikap dan tingkah laku kaum kafirin seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nyapun berada di tengah-tengah kamu?” (QS. ali-imran : 101)

Kecaman Allah SWT ini ditujukan kepada kaum Aus dan Khazraj ketika mereka mempertontonkan gejala-gejala perpecahan diantara mereka karena hasutan orang-orang Yahudi. Kecaman keras itu muncul karena justru Islam merupakan sebuah agama yang menjunjung tinggi ajaran persatuan diantara para pemeluknya. Syukurlah kaum muslimin saat itu segera menyadari kekeliruannya.

Kondisi masyarakat dewasa ini, tidak sedikit yang harus kita muhasabbahi (evaluasi) dengan nurani yang bening mengacu firman Allah SWT di atas. Salah satu yang sedang kita tangkal dewasa ini adalah tentang kecenderungan untuk menampakkan aurat. Kecenderungan ini mendapat lahan subur untuk berkembang dengan kecepatan yang mencengangkan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Busana-busana pria dan wanita yang terbuka dan mengeksplotasi bagian tubuh disosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai cara sehingga busana mini dan terbuka dinilai sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Lebih jauh, aurat telah dikemas sedemikian rupa dan dijual sabagai komoditi yang menguntungkan melalui film, buku, hingga majalah. Seni dan profesionalisme seringkali menjadi dalih pembenaran untuk menampilkan pose-pose atau adegan-adegan yang tidak selayaknya.

Abul A’la Maududi dalam bukunya Al-Hijab menyatakan bahwa dari sudut pandangan Islam, menutupi bagian yang memalukan (aurat) lebih penting daripada hanya sekedar fungsi hiasan belaka. Islam tetap memerintahkan kepada pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan untuk menutup seluruh bagian tubuhnya yang merangsang dan menarik lawan jenisnya. Lebih lanjut Maududi menuturkan bahwa dalam Islam pakaian yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh dan aurat, nilainya sama dengan tidak berpakaian sama sekali.

Belajar dari sejarah, keruntuhan beberapa peradaban manusia berawal dari keruntuhan moralnya. Yunani dan Romawi, dua kerajaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan militer begitu besar serta wilayah kekuasaan begitu luas hancur karena keruntuhan moralnya, yang salah satunya ditandai dengan keberanian mengumbar aurat. Selangkah demi selangkah mereka membangun suatu masyarakat yang rapuh dan kehilangan akal sehat. Syahwat telah menjadi raja yang sangat ditaati. Perlahan tapi pasti mereka telah meniti langkah menuju kehancuran, dan sejarah menjadi saksi bagaimana kemudian kerajaan mereka mengalami kehancuran dan musnah.

Dalam zaman yang berbeda, Rasulullah SAW, sahabat, berikut generasi pertama ummat Islam membuktikan bahwa dengan kekuatan akhlak (moral) terbangun sebuah peradaban bangsa yang kokoh serta elegan. Ajaran Islam diamalkan dalam setiap sendi kehidupan bernegara, bermasyarakat, keluarga, dan setiap pribadi muslim.

Ibnu Hisyam meriwayatkan seorang muslimah membawa perhiasannya untuk disepuh kepada Yahudi Bani Qaniquha, kemudian datanglah beberapa orang Yahudi yang mengelilingi dan meminta muslimah tadi membuka penutup mukanya, tapi ia menolak. Tanpa diketahui, tukang sepuh mengaitkan ujung pakaiannya pada bagian punggung sehingga ketika berdiri terbukalah auratnya. Teriakan minta tolong muslimah mengundang seorang muslim yang secepat kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Kaum Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyok muslim tadi hingga meninggal, yang menandai gugurnya perjanjian damai Rasulullah SAW dengan mereka. Insiden ini ditutup dengan pengepungan Rasulullah SAW dan para sahabat terhadap Bani Qaniquha dan pengusiran dari wilayah Madinah. Ada beberapa hikmah luar biasa dari kisah tersebut yang menjadi kunci membangun peradaban elegan guna menjadi cermin bagi masyarakat dewasa ini:

1. Keimanan yang kokoh
Tidak akan pernah menang da’wah Islam, jika Rasulullah SAW dan para sahabat hanya mengandalkan keindahan kata-kata yang bergaya ilmiah serta memukau orang banyak. Dakwah Islam mengalami kemenangan karena perbaikan Islam hadir tidak sekedar dalam bentuk slogan serta janji, namun tampil nyata dalam tindakan serta keputusan-keputusan mereka. Keimanan terhadap kebenaran Islam tidak sekedar muncul dalam keyakinan, namun muncul dalam amal perbuatan, akhlak karimah sebagai buah keimanan. Dalam QS. Ibrahim ayat 24-25, Allah menggambarkan orang yang beriman kokoh ibarat sebuah pohon :
‘Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizing Tuhannya…’

Khalifah Umar bin Khattab pernah memanggil para panglima dan penguasa Muslim di Persia karena setelah sekian lama penduduk negeri itu hidup tenang, tiba-tiba berjangkitlah benih perlawanan. Yang pertama kali dikhawatirkan Umar sebagai penyebab perlawanan rakyat Persia tersebut adalah akhlak anak buahnya, misalnya menganiaya penduduk atau merampas harta benda mereka. Namun kekhawatiran Umar tidak pernah terjadi, setelah diselidiki, perlawanan muncul karena hasutan Khosru Yezdegrid III, kaisar Persia yang terusir dan bebas bergerak di luar wilayah yang dikuasai kaum Muslimin. Adapun akhlak pasukan Umar, masih bisa diandalkan.

Kisah ini memberi pelajaran, meskipun misi dakwah yang diemban kaum muslimin adalah baik, namun dalam pelaksanaannya bisa saja kaum Muslimin justru bertindak sebaliknya. Jika hal itu terjadi maka nilai-nilai kebenaran tidak akan terwujud.

2. Keteladanan Hirarkhis
Perhatikan urutan yang Rasulullah ajarkan; Rasulullah, keluarganya, para sahabat, dan ummat. Keteladanan Rasulullah akan mempengaruhi keluarganya. Keteladanan keluarga Nabi akan mempengaruhi para sahabat. Dan tentu saja, keteladanan para sahabat akan mempengaruhi ummat dari zaman ke zaman. Merekalah generasi pertama yang menjadi tauladan terbaik bagi manusia. Hikmah yang bisa diambil bahwa keteladanan para pemimpin bersifat mutlak, bahkan tidak saja pada diri sang pemimpin, tetapi juga keluarga mereka. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 30;
"Hai istri-istri Nabi, barangsiapa diantara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah."

Tanggung jawab keteladanan istri-istri para pemimpin terasa berat karena keteladanan itu sendiri menjadi mata rantai keteladanan dalam masyarakat. Para Istri akan senantiasa menaruh perhatian, bahkan tidak jarang berkaca kepada istri-istri pemimpin mereka. Menjadi bumerang tatkala istri pemimpin tidak memiliki pondasi keimanan yang kokoh karena masyarakatpun cenderung akan mengikuti dan menjadikannya tolak ukur kewajaran dalam berperilaku dan berpikir, meskipun adakalanya pikiran dan perilaku itu tidak sesuai dengan syariat.

3. Clean Government
Kebaikan seseorang dalam pengamalan syariat akan menimbulkan dorongan moral bagi orang lain untuk melakukan yang sama. Hal ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari cara berpakaian hingga cara pengambilan keputusan dalam posisi sebagai pejabat pemerintahan. Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar kesederhanaan dalam kepemimpinan beliau, hal ini membekas dalam jiwa Abu Bakar ash-Shidiq r.a, pengganti beliau. Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya untuk keperluan dakwah Islam, diikuti Umar Bin Khattab yang memberikan separuh hartanya.

Sejarah mencatat selama 2 tahun 3 bulan massa kekhalifahannya, Abu Bakar hanya menghabiskan 8.000 dirham (800 dinar) dari Baitul Maal. Biaya sekecil itu dipergunakan untuk mengelola sebuah negara yang wilayahnya terbentang dari Mesir hingga Persia. Betapa efisiennya sebuah pemerintahan yang dikelola oleh orang-orang yang menjaga kesucian dirinya dengan hidup sederhana. Bandingkan dengan sumbangan Abu Bakar kepada Rasulullah ketika menghadapi perang Tabuk yang besarnya 40.000 dirham. Tidak mengherankan, ketika pada masa itu para sahabat tetap hidup dalam kesederhanaan meskipun kemewahan dunia dan kekuasaan bisa didapatkan dengan mudah.

Peradaban barat yang saat ini didengung-dengungkan sebagai mercusuar peradaban didunia telah mengalami pengeroposan diakibatkan degradasi moral yang parah. Penggunaan narkotika, eksploitasi aurat, hingga kebebasan pergaulan tanpa norma merupakan tahapan yang dulu dilalui kerajaan Yunani dan Romawi menjelang massa kehancurannya. Adakah kita sebagai bangsa yang dikaruniakan Allah SWT hidayah indahnya Islam tidak berupaya menghindarkannya?? Ataukah sebaliknya, dengan segala kesadaran justru mengikutinya??[][]
(labbaik crew)

DAKWAH MENUJU KEBANGKITAN UMMAT

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. ali-'Imran [3] : 104)

Dakwah adalah usaha mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan pengajaran yang baik sehingga manusia mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah, yang bertujuan untuk merubah kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam. Dakwah tidak terbatas kepada kalangan tertentu saja, dan juga tidak terbatas kepada orang Islam saja. Akan tetapi dakwah harus tertuju kepada seluruh manusia di manapun mereka berada, di kota, di desa, bahkan di ujung gunung, di tengah hutan, di pulau terpencil, jika masih ada manusia, maka dakwah harus disampaikan ke tempat tersebut, sehingga mereka mengenal dan beriman kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan manusia, Penguasa alam semesta. Selanjutnya mau tunduk dan patuh melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.


Manusia yang didakwahi di bawa ke jalan Allah yaitu Islam. Dakwah tidak mengajak manusia kepada kelompok atau organisasi dan tidak juga kepada pribadi. Terjadinya perselisihan dan persaingan dakwah yang tidak sehat, sering disebabkan adanya ta’asub kepada kelompok atau organisasi tetapi tidak ta’asub kepada Islam. Mementingkan kelompok atau organisasi dibandingkan Islam. Inilah yang menyebabkan perpecahan di kalangan ummat Islam, baik tokohnya maupun pendukungnya yang fanatik, mereka saling sikut-saling sikat, saling geser-saling gusur, saling tunjuk-saling tonjok. Padahal kelompok dan organisasi hanyalah wadah untuk kita berkumpul dalam rangka mengamalkan dan memperjuangkan Islam di muka bumi ini. Prinsip dakwah Islam adalah melakukan pendekatan dakwah Islamiyyah qabla jam’iyyah (mengenalkan Islam sebelum mengenalkan jama'ah/organisasi), bukan dakwah jam’iyyah qabla Islamiyyah (mengenalkan jama'ah/organisasi sebelum mengenalkan Islam).


"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap memelajarinya." (QS. ali-‘Imran [3]: 79).

Sayyid Quthb di dalam Fii Zhilaalil Qur’an (di bawah naungan al-Qur’an), ketika menafsirkan ayat di atas mengemukakan:
"Seorang nabi pasti meyakini bahwa dirinya adalah hamba sedangkan Allah adalah Tuhan yang patut disembah. Dia tidak mungkin mengklaim bahwa dirinya ada sifat ketuhanan yang mengharuskan manusia menyembahnya. Seorang nabi tidak mungkin mengatakan kepada manusia: “Sembahlah aku disamping Allah.” Tapi, dia akan mengatakan: “Jadilah kalian orang-orang Rabbani, (yaitu mereka yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah). Sembahlah Allah semata dan ambillah dari-Nya saja sistem kehidupan." Dengan bertaqwa, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dan mengembangkan ilmu tentang Al Kitab, maka seseorang akan menjadi Rabbani.”


Cara menyampaikan dakwah kepada ummat manusia harus dengan cara yang hikmah dan pengajaran yang baik. Sampaikan dakwah itu dengan tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Perhatikan dan pahami terlebih dahulu orang yang akan kita dakwahi (mad’u) terkait dengan usia, latar belakang kehidupannya, psikologi, pendidikan, status, dan lingkungannya. Dan sentuhlah jiwanya, maka akan berubahlah prilakunya.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]: 125)

KEUTAMAAN DAKWAH
Berdakwah merupakan aktifitas dan ibadah yang mulia di sisi Allah. Dakwah merupakan amalan para Nabi, Rasul dan orang-orang yang peduli terhadap kelanjutan Risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Panji-panji dakwah harus senantiasa diusung oleh setiap pribadi muslim sehingga terwujudnya masyarakat yang beribadah kepada Allah swt saja dengan melaksanakan segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya. Pekerjaan mulia ini dalam pelaksanaannya akan menghadapi tantangan dan rintangan, sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat terdahulu. Mereka yang berdakwah menegakkan agama Allah di permukaan bumi ini akan dituduh dan dituding sebagai orang gila, fundamentalis, ekstirimis bahkan sekarang dikatakan sebagai teroris. Apakah kita akan lari dari dakwah? Atau meninggalkan para da’i melakukan dakwahnya sendiri? Saya yakin jawabannya adalah: TIDAK!

Rasulullah pernah didatangi oleh pembesar-pembesar Quraisy yang kafir, tujuannya mengajak kompromi Rasulullah saw agar menghentikan dakwahnya. Dan sebagai kompensasinya Rasul saw akan diberikan wanita yang tercantik di tanah Arab, harta yang banyak dan tahta atau kedudukan yang mulia di tengah-tengah masyarakat Arab. Apakah Rasul saw menerima tawaran tersebut? Tidak, sekali lagi tidak! Karena dakwah adalah tugas para Nabi dan Rasul, amalan yang mulia di sisi Allah dan ganjarannya sangat besar bagi siapa saja yang melakukannya. Sekiranya matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan diletakkan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah, maka aku tidak akan menghentikannya, begitulah ungkapan Rasulullah saw.
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS: Fushshilat [41]: 33)

"Barangsiapa yang menunjukkan ke arah kebaikan, maka ia berhak memperoleh pahala seperti pahala yang melakukannya.” (HR. Muslim)

"Barangsiapa mengajak pada petunjuk maka ia berhak mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, tidak dikurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang mengajak pada kesesatan maka ia berhak memikul dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

"Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR.Muttafaqun ‘alaih).


IMUNITAS BERDAKWAH

Para da’i dan pendukung dakwah dapat mengalami degradasi di dalam perjalanan hidupnya bersama dakwah. Dan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan berhenti dan terpental bahkan kontra terhadap dakwah. Untuk menghindari itu semua, diperlukan beberapa hal yang harus dimiliki dalam berinteraksi dengan dakwah, yaitu:

Pertama, Ikhlash.
Ikhlash adalah menghadapkan amal dan mendekatkan diri kepada Allah semata, tiada sedikitpun terdapat unsur riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kepada orang lain) di dalamnya, dan tidak pula untuk meraih maksud dan tujuan yang semu, dan tidak pula dibuat-buat (pura-pura), tetapi hanya mengharap pahala dan balasan Allah, dan takut akan adzab-Nya serta ingin mendapatkan ridha-Nya.

Niat yang ikhlash karena Allah dalam berdakwah akan memberikan kenikmatan yang tiada terhingga. Dunia akan terasa luas, yang berat akan menjadi ringan, yang jauh dapat menjadi dekat, yang sukar akan menjadi mudah, yang sedikit akan terasa banyak, tidak ada rasa kecewa di dalam hati. Jika ikhlash sudah menjadi dasar dalam setiap aktifitas dan amal setiap insan (al-Ikhlashu mabda-una), maka kita akan semangat melakukan dakwah dan itu dilakukan tanpa mengharapkan materi dan pujian, kecuali ridha Allah semata. Sebaik-baik balasan adalah balasan yang datang dari Allah, sebaik-baik pemberian adalah pemberian yang datang dari Allah. Sebaik-baik pujian adalah pujian yang datang dari Allah.
Ikhlash merupakan tanda orang beriman yang baik, ruh amal seorang dai, dan puncak dari kecintaan seorang hamba kepada Khaliknya, Allah swt.

Kedua, Ihsan.
Suatu hari Rasulullah saw yang sedang duduk bersama para sahabat didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya. Dia bertanya kepada Rasul saw tentang iman, islam dan ihsan. Ketika dia bertanya tentang ihsan, maka Rasul saw menjelaskan bahwa ihsan adalah Anda menyembah Allah seolah-olah anda melihat-Nya. Meskipun anda tidak melihat-Nya, Dia melihat anda. (HR.Muslim).

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa setiap muslim apabila melakukan suatu amal/aktifitas terutama dakwah sesuai dengan konsep ihsan, maka dia akan ikhlash dalam niatnya (lillahi ta’ala), rapi dalam amalnya (itqaanul ‘amal) dan akan menyelesaikan amal tersebut dengan tuntas (jaudatul adaa-i) secara baik dan benar. Sehingga ketika berdakwah, dia akan melakukan dengan sepenuh hati dan tidak akan berhenti di tengah jalan. Sikap ini akan memberikan pengaruh yang besar kepada umat secara menyeluruh, umat akan bersimpati dan kagum terhadap setiap da'i dan para aktifis dakwah yang ihsan dalam melakukan aktifitasnya.

Ketiga, Istiqamah.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah“ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS. Fushshilat [41]: 30)

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan :”Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita." (QS. al-Ahqaaf [46]: 13)

Pada dua ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan diamalkan dalam perbuatan. Akan menghasilkan seorang yang istiqamah dalam agama dan perjuangannya. Orang yang istiqamah akan berani (syajaa-‘ah) menghadapi tantangan dan rintangan yang sengaja disebar oleh orang-orang kafir atau munafik. Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam dirinya ketika menghadapi orang-orang yang zhalim. Dia hanya takut kepada Allah saja. Orang yang istiqomah akan tenang dan tidak gelisah ketika menghadapi suasana yang galau dan menakutkan, karena dia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah akan membantu dan menolongnya ketika dalam kesulitan. Selain itu, orang yang istiqomah akan senantiasa optimis (tafaa-ul) dalam setiap perjuangannya khususnya dalam berdakwah. Dia yakin bahwa dakwah yang sedang dilakukan akan berhasil dengan baik selama tetap berada dalam manhaj para nabi dan rasul. Mungkin dia belum merasakan hasilnya dari dakwah yang dilakukan selama ini, dia tetap optimis suatu ketika buah dakwah akan bermunculan dengan lebatnya dan akan memberikan manfaat yang besar kepada umat. Ketahuilah bahwa usia dakwah lebih panjang dari usia kita. Wallahu a’lam bish-bishowab. [][]
(Labbaik-crew)