Saturday, April 29, 2006

Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, "Ceritakan padaku akhlak Muhammad!". Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, "Ceritakan padaku keindahan dunia ini!." Badui ini menjawab, "Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini..." Ali menjawab, "Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. al-Qalam [68]: 4)"

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa "Humairah" oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur'an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur'an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan al-Qur'an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi jika ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur'an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS al-Mu'minun [23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Jika mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, "ah semua perilakunya indah." Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. "Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, 'Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.'" Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad jualah yang membuat khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu." Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, "berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya." Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut jika wahyu turun dan mengecam mereka.

Untuk sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita jika orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah jika mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Jika kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, "Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain." Dalam riwayat lain disebutkan, "Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta'wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan."

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. "Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." "Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik."

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Penulis pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam al-Qur'an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan "Wahai Nabi". Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: "Angkat al-Qa'qa bin Ma'bad sebagai pemimpin." Kata Umar, "Tidak, angkatlah al-Aqra' bin Habis." Abu Bakar berkata kepada Umar, "Kamu hanya ingin membantah aku saja," Umar menjawab, "Aku tidak bermaksud membantahmu." Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya." (QS. al-Hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, "Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia." Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi'ah. Ia berkata pada Nabi, "Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami"

Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, "Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?" "Sudah." kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? "Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu." Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, "Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada di antara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!" Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, "Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisiku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini." Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap "membereskan" orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, "lakukanlah!" Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, "Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah." Seketika itu juga terdengar ucapan, "Allahu Akbar" berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan jika Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na'udzu billah...

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada', di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, "Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?" Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, "Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah...?" Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, "benar ya Rasul!"

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, "Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!". Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Dalam tulisan ini penulis pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah. "Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah... Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah"
Wallahu a'lam bish-showab.
[Labbaik 9/15, 280406]

Sunday, April 02, 2006

Pemuda, Inilah momentum kita!


PEMUDA, INILAH MEMONTUM KITA!



Siapa yang tidak mengenal MTV?! Tampaknya dunia ini tidak akan pernah bisa terpisahkan dengan musik, begitupun dengan televisi. Lihat, di perkampungan kecil, walau rumah beratapkan seng tetapi berhiaskan antena parabola. Inilah kenyataan hari ini.
Begitu naif kehidupan kita, seorang lelaki mati dihakimi massa setelah tertangkap basah mencuri ayam, yang notabene harganya tidak lebih mahal tarif salon-salon kecantikan. Di lain sisi paradoks hukum kita begitu menggurat jelas, seorang koruptor dengan santainya bisa keluar masuk bank dengan membobol milyaran rupiah, tanpa takut dihakimi massa.
Inilah kenyataannya, ratusan anak yang lahir dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai, memaksa mereka berderat teratur di lampu-lampu merah, atau menjadi "penyanyi" ala kadarnya, demi sesuap nasi. Paradoks, pameran-pameran mobil hampir setiap bulan menghiasi sudut-sudut aula, tidak ketinggalan tayangan iklan mobil dan juga motor tiada hentinya hadir di televisi kita.
Kemudian di sudut sana, anak-anak berperut buncit, bukan karena kekenyangan, semakin bertambah teratur menghiasi laporan-laporan kesehatan di puskesmas yang di tinggal dokternya, karena gajinya sedikit.

Dan sungguh melenakkan kegemaran kita berkutat dengan transparansi-transparansi kuliah, tanpa paham isinya, sementara begitu banyak antrian sarjana pencari kerja. Mereka hanya berbekal kertas berjudulkan ijazah tetapi tidak memiliki skill sama sekali, bahkan keilmuan mereka ditanyakan, sebab kuliah mereka cuma sekedar titip absen dan copy-paste laporan. Sungguh memalukan!
Rakyat yang bersusah payah menyubsidi kuliah kita, tapi kita justru meracuni rakyat dengan tugas terstruktur bodong, hasil catut kakak kelas.

Paradoks. Di bumi barat sana, bangsa-bangsa yang mengaku pilihan, semakin maju, kepandaian mereka rata-rata setaraf dengan kepandaian para doktor Indonesia. Walaupun mereka tidak mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, mereka tetap memiliki pola berpikir maju. Jika kita amati, kondisi ini merupakan kondisi yang sudah direncanakan:

Negara-negara berkembang sekelas Indonesia dicekoki MTV dan hamburger, agar para pemudanya manja dan cengeng, sebab dininabobokan dengan musik tidak karuan MTV dan disuguhi makanan sampah, yang bagi mereka inilah moderenisme ala barat. Padahal sepeser demi sepeser uang yang dibelanjakan untuk hamburger akan dibelikan senapan yang akan menembaki anak-anak muslim di belahan jazirah Arab sana, dan kita malah asik – tidak menghiraukan sayatan tangis bocah yang ditinggal ibunya karena di rudal si La'natullah kufar – stasiun-stasiun radio kacangan atau mengumpulkan pin-up para "idola".

Lalu, siapa kita?
Lelaki yang termenung di pagi hari untuk sekedar memikirkan apa yang akan dikatakan kepada sang kekasih nanti saat janjian. Atau perempuan yang sibuk menjadi kolektor ulung majalah sampah, mengumpulkan gambar ganteng si A atau si cute B. Siapa kita?
Sungguh kita adalah putra-putri Islam, yang dilahirkan atas Iradah Allah untuk berbuat yang terbaik. Menyeru kepada kemuliaan hidup dengan bekal sirah, dan memimpin manusia menuju cahaya keabadian dengan al-Qur'an sebagai pedoman.

Wahai pemuda! Kalian dilahirkan dari rahim ibu yang mungkin ummi terhadap masalah ini, juga dibimbing ayah yang mungkin kolot taklid leluhur. Tetapi kalian adalah manusia yang lain, yang berbeda secara potensi dan kesempatan dengan orang-orang tua kita. Maka tidak ada alasan hanya berdiam di lubang-lubang alasan ketidakberdayaan. Sungguh pemuda adalah harapan.

Sungguh, kita harus meyakini Islam yang kita anut adalah kunci hakikat kehidupan ini, yang tanpanya kita tidak akan mampu masuk dan memahai kehidupan ini. Bahkan, barangkali kita akan terus-menerus dihujani kejahiliyaan peradaban, dan disirami cahaya panas kemungkaran. Maka, seharusnya tidak ada ruang-ruang keraguan di hati kita terhadap Islam.
Rasulullah, adalah pemimpin para pemuda. Dengan tanggannya beliau telah membuktikan bahwa dunia dengan peradabannya bisa dirubah dengan kekuatan para pemuda. Kisah fenomenal Mushab bin Umair dengan tangannya mengkondisikan kota peradaban Islam, Madinah. Atau kisah heroik Sholahudin al-Ayubi dengan pedangnya merebut kembali masjid suci al-Aqsha.

Itulah tabiat Islam. Menjadikan si pengecut berubah menjadi si pemberani, merubah si keras Umar menjadi sosok bijak. Atau merubah kehinaan budak di kubangan tradisi quraisy, Bilal, menjadi sosok istimewa penghibur Rasulullah dan ummat.

Pemuda, inilah momentum kita!
Fisik kita adalah fisik terkuat dari yang dimiliki usia manusia. Akal kita adalah akal tertajam, dan harapan-harapan juga kesempatan potensi waktu dan usia kita adalah potensi terbesar dari rangkaian usia manusia. Dan Islam menyempurnakannya dengan sandaran dan pertolongan Zat yang memiliki dunia ini, maka berpikir dan berkaryalah untuk bangsa dan ummat. Jangan tunggu esok! karena esok adalah kesempatan yang masih tersamarkan, dan jangan pula terlalu lama bernostalgia dengan hari kemarin. Raihlah hari ini dengan amal yang sempurna. Maka kejayaan ummat akan terbit atas tangan-tangan kita.

Pemuda, kitalah pembaharu ummat. Ummat yang kita sedang sakit, akan kita obati dengan Islam yang kita emban. Yaitu Islam yang bersih dari campur tangan manusia dan dari segala kecacatan. Islam yang universal, menyeluruh, tidak parsial, tidak bercampur bid'ah, takhayul, dan khurafat.
Kita jualah generasi penerus itu. Kitalah generasi penerus para Nabi, maka kita harus benar-benar meninfakan jiwa dan raga kita untuk Islam hingga syahid di jalan Allah. Tapi pahamilah kita bukanlah generasi penerus tradisi/nenek moyang kita yang jahil, yang tidak mau menerima dan mengikuti petunjuk Allah. Kita tidak boleh meneruskan kebodohan tradisi leluhur. Kita harus benar-benar membenamkan diri pada kemurnian Islam.
Wahai generasi pengganti! Setiap peran yang kita miliki harus dapat merealisasikan kemaslahatan ummat, membawa ummat kearah kemuliaan, kedamaian, dan keadilan. Generasi yang mencintai Allan dan kelak Allah pun mencintai kita. Kita akan menggantikan kelemahan dengan kekuatan, kebodohan dengan ketajaman akal adn akhlaq mulia.
"Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui." (QS. al-Maa-idah: 54)
Wahai pemuda, maka bersiap-siagalah. Karena kita adalah komponen pengubah. Kita harus mampu mengubah kemungkaran dalam diri kita, keluarga, masyarakat, dan ummat.
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. at-Taubah: 71)

Apapun yang kita miliki, sekecil apapun peran kita, sungguh ummat terlanjur menopangkan harapan di pundak para pemuda. Maka tidak ada kata berhenti untuk beramal dan memperbaiki ummat.



Wallahu a'lam bish-showab
Mail to: abdu_thoyyib@yahoo.com