Wednesday, March 29, 2006

RAHASIA PERADABAN ELEGAN

Keteladanan diri, merupakan kunci kesuksesan perjuangan Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi penerusnya. Ketika jiwa keteladanan itu lenyap dari diri ummat, maka muncullah tanda-tanda kemunduran dan kehancuran. Kata-kata Rasulullah SAW ‘Mulailah dari dirimu sendiri’ mempunyai makna strategis dalam perjuangan mengusung syariat Islam yang agung ini. Ini menunjukkan sebuah makna jika seseorang bertekad akan membersihkan system masyarakat dan negara dari nilai-nilai kejahiliyahan, maka langkah pertama adalah membersihkan dirinya sendiri.

Ummahatul Mukminin ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah menjawab, “Akhlak beliau adalah al-Qur’an”. Tanpa membaca atau mendengar al-Qur’an sebelumnya, manusia dapat mengetahui Wahyu Illahi dari akhlak Rasulullah SAW. Seyogyanya memang tidak boleh ada hijab (sekat) antara kaum muslimin dengan ajaran yang dianutnya, sangat disayangkan jika kaum muslimin justru menampilkan sikap-sikap dan tingkah laku kaum kafirin seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nyapun berada di tengah-tengah kamu?” (QS. ali-imran : 101)

Kecaman Allah SWT ini ditujukan kepada kaum Aus dan Khazraj ketika mereka mempertontonkan gejala-gejala perpecahan diantara mereka karena hasutan orang-orang Yahudi. Kecaman keras itu muncul karena justru Islam merupakan sebuah agama yang menjunjung tinggi ajaran persatuan diantara para pemeluknya. Syukurlah kaum muslimin saat itu segera menyadari kekeliruannya.

Kondisi masyarakat dewasa ini, tidak sedikit yang harus kita muhasabbahi (evaluasi) dengan nurani yang bening mengacu firman Allah SWT di atas. Salah satu yang sedang kita tangkal dewasa ini adalah tentang kecenderungan untuk menampakkan aurat. Kecenderungan ini mendapat lahan subur untuk berkembang dengan kecepatan yang mencengangkan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Busana-busana pria dan wanita yang terbuka dan mengeksplotasi bagian tubuh disosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai cara sehingga busana mini dan terbuka dinilai sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Lebih jauh, aurat telah dikemas sedemikian rupa dan dijual sabagai komoditi yang menguntungkan melalui film, buku, hingga majalah. Seni dan profesionalisme seringkali menjadi dalih pembenaran untuk menampilkan pose-pose atau adegan-adegan yang tidak selayaknya.

Abul A’la Maududi dalam bukunya Al-Hijab menyatakan bahwa dari sudut pandangan Islam, menutupi bagian yang memalukan (aurat) lebih penting daripada hanya sekedar fungsi hiasan belaka. Islam tetap memerintahkan kepada pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan untuk menutup seluruh bagian tubuhnya yang merangsang dan menarik lawan jenisnya. Lebih lanjut Maududi menuturkan bahwa dalam Islam pakaian yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh dan aurat, nilainya sama dengan tidak berpakaian sama sekali.

Belajar dari sejarah, keruntuhan beberapa peradaban manusia berawal dari keruntuhan moralnya. Yunani dan Romawi, dua kerajaan dengan kekuatan politik, ekonomi, dan militer begitu besar serta wilayah kekuasaan begitu luas hancur karena keruntuhan moralnya, yang salah satunya ditandai dengan keberanian mengumbar aurat. Selangkah demi selangkah mereka membangun suatu masyarakat yang rapuh dan kehilangan akal sehat. Syahwat telah menjadi raja yang sangat ditaati. Perlahan tapi pasti mereka telah meniti langkah menuju kehancuran, dan sejarah menjadi saksi bagaimana kemudian kerajaan mereka mengalami kehancuran dan musnah.

Dalam zaman yang berbeda, Rasulullah SAW, sahabat, berikut generasi pertama ummat Islam membuktikan bahwa dengan kekuatan akhlak (moral) terbangun sebuah peradaban bangsa yang kokoh serta elegan. Ajaran Islam diamalkan dalam setiap sendi kehidupan bernegara, bermasyarakat, keluarga, dan setiap pribadi muslim.

Ibnu Hisyam meriwayatkan seorang muslimah membawa perhiasannya untuk disepuh kepada Yahudi Bani Qaniquha, kemudian datanglah beberapa orang Yahudi yang mengelilingi dan meminta muslimah tadi membuka penutup mukanya, tapi ia menolak. Tanpa diketahui, tukang sepuh mengaitkan ujung pakaiannya pada bagian punggung sehingga ketika berdiri terbukalah auratnya. Teriakan minta tolong muslimah mengundang seorang muslim yang secepat kilat menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Kaum Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyok muslim tadi hingga meninggal, yang menandai gugurnya perjanjian damai Rasulullah SAW dengan mereka. Insiden ini ditutup dengan pengepungan Rasulullah SAW dan para sahabat terhadap Bani Qaniquha dan pengusiran dari wilayah Madinah. Ada beberapa hikmah luar biasa dari kisah tersebut yang menjadi kunci membangun peradaban elegan guna menjadi cermin bagi masyarakat dewasa ini:

1. Keimanan yang kokoh
Tidak akan pernah menang da’wah Islam, jika Rasulullah SAW dan para sahabat hanya mengandalkan keindahan kata-kata yang bergaya ilmiah serta memukau orang banyak. Dakwah Islam mengalami kemenangan karena perbaikan Islam hadir tidak sekedar dalam bentuk slogan serta janji, namun tampil nyata dalam tindakan serta keputusan-keputusan mereka. Keimanan terhadap kebenaran Islam tidak sekedar muncul dalam keyakinan, namun muncul dalam amal perbuatan, akhlak karimah sebagai buah keimanan. Dalam QS. Ibrahim ayat 24-25, Allah menggambarkan orang yang beriman kokoh ibarat sebuah pohon :
‘Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizing Tuhannya…’

Khalifah Umar bin Khattab pernah memanggil para panglima dan penguasa Muslim di Persia karena setelah sekian lama penduduk negeri itu hidup tenang, tiba-tiba berjangkitlah benih perlawanan. Yang pertama kali dikhawatirkan Umar sebagai penyebab perlawanan rakyat Persia tersebut adalah akhlak anak buahnya, misalnya menganiaya penduduk atau merampas harta benda mereka. Namun kekhawatiran Umar tidak pernah terjadi, setelah diselidiki, perlawanan muncul karena hasutan Khosru Yezdegrid III, kaisar Persia yang terusir dan bebas bergerak di luar wilayah yang dikuasai kaum Muslimin. Adapun akhlak pasukan Umar, masih bisa diandalkan.

Kisah ini memberi pelajaran, meskipun misi dakwah yang diemban kaum muslimin adalah baik, namun dalam pelaksanaannya bisa saja kaum Muslimin justru bertindak sebaliknya. Jika hal itu terjadi maka nilai-nilai kebenaran tidak akan terwujud.

2. Keteladanan Hirarkhis
Perhatikan urutan yang Rasulullah ajarkan; Rasulullah, keluarganya, para sahabat, dan ummat. Keteladanan Rasulullah akan mempengaruhi keluarganya. Keteladanan keluarga Nabi akan mempengaruhi para sahabat. Dan tentu saja, keteladanan para sahabat akan mempengaruhi ummat dari zaman ke zaman. Merekalah generasi pertama yang menjadi tauladan terbaik bagi manusia. Hikmah yang bisa diambil bahwa keteladanan para pemimpin bersifat mutlak, bahkan tidak saja pada diri sang pemimpin, tetapi juga keluarga mereka. Perhatikan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 30;
"Hai istri-istri Nabi, barangsiapa diantara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah."

Tanggung jawab keteladanan istri-istri para pemimpin terasa berat karena keteladanan itu sendiri menjadi mata rantai keteladanan dalam masyarakat. Para Istri akan senantiasa menaruh perhatian, bahkan tidak jarang berkaca kepada istri-istri pemimpin mereka. Menjadi bumerang tatkala istri pemimpin tidak memiliki pondasi keimanan yang kokoh karena masyarakatpun cenderung akan mengikuti dan menjadikannya tolak ukur kewajaran dalam berperilaku dan berpikir, meskipun adakalanya pikiran dan perilaku itu tidak sesuai dengan syariat.

3. Clean Government
Kebaikan seseorang dalam pengamalan syariat akan menimbulkan dorongan moral bagi orang lain untuk melakukan yang sama. Hal ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari cara berpakaian hingga cara pengambilan keputusan dalam posisi sebagai pejabat pemerintahan. Rasulullah SAW telah meletakkan dasar-dasar kesederhanaan dalam kepemimpinan beliau, hal ini membekas dalam jiwa Abu Bakar ash-Shidiq r.a, pengganti beliau. Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya untuk keperluan dakwah Islam, diikuti Umar Bin Khattab yang memberikan separuh hartanya.

Sejarah mencatat selama 2 tahun 3 bulan massa kekhalifahannya, Abu Bakar hanya menghabiskan 8.000 dirham (800 dinar) dari Baitul Maal. Biaya sekecil itu dipergunakan untuk mengelola sebuah negara yang wilayahnya terbentang dari Mesir hingga Persia. Betapa efisiennya sebuah pemerintahan yang dikelola oleh orang-orang yang menjaga kesucian dirinya dengan hidup sederhana. Bandingkan dengan sumbangan Abu Bakar kepada Rasulullah ketika menghadapi perang Tabuk yang besarnya 40.000 dirham. Tidak mengherankan, ketika pada masa itu para sahabat tetap hidup dalam kesederhanaan meskipun kemewahan dunia dan kekuasaan bisa didapatkan dengan mudah.

Peradaban barat yang saat ini didengung-dengungkan sebagai mercusuar peradaban didunia telah mengalami pengeroposan diakibatkan degradasi moral yang parah. Penggunaan narkotika, eksploitasi aurat, hingga kebebasan pergaulan tanpa norma merupakan tahapan yang dulu dilalui kerajaan Yunani dan Romawi menjelang massa kehancurannya. Adakah kita sebagai bangsa yang dikaruniakan Allah SWT hidayah indahnya Islam tidak berupaya menghindarkannya?? Ataukah sebaliknya, dengan segala kesadaran justru mengikutinya??[][]
(labbaik crew)

DAKWAH MENUJU KEBANGKITAN UMMAT

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. ali-'Imran [3] : 104)

Dakwah adalah usaha mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan pengajaran yang baik sehingga manusia mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah, yang bertujuan untuk merubah kegelapan jahiliyah kepada cahaya Islam. Dakwah tidak terbatas kepada kalangan tertentu saja, dan juga tidak terbatas kepada orang Islam saja. Akan tetapi dakwah harus tertuju kepada seluruh manusia di manapun mereka berada, di kota, di desa, bahkan di ujung gunung, di tengah hutan, di pulau terpencil, jika masih ada manusia, maka dakwah harus disampaikan ke tempat tersebut, sehingga mereka mengenal dan beriman kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan manusia, Penguasa alam semesta. Selanjutnya mau tunduk dan patuh melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.


Manusia yang didakwahi di bawa ke jalan Allah yaitu Islam. Dakwah tidak mengajak manusia kepada kelompok atau organisasi dan tidak juga kepada pribadi. Terjadinya perselisihan dan persaingan dakwah yang tidak sehat, sering disebabkan adanya ta’asub kepada kelompok atau organisasi tetapi tidak ta’asub kepada Islam. Mementingkan kelompok atau organisasi dibandingkan Islam. Inilah yang menyebabkan perpecahan di kalangan ummat Islam, baik tokohnya maupun pendukungnya yang fanatik, mereka saling sikut-saling sikat, saling geser-saling gusur, saling tunjuk-saling tonjok. Padahal kelompok dan organisasi hanyalah wadah untuk kita berkumpul dalam rangka mengamalkan dan memperjuangkan Islam di muka bumi ini. Prinsip dakwah Islam adalah melakukan pendekatan dakwah Islamiyyah qabla jam’iyyah (mengenalkan Islam sebelum mengenalkan jama'ah/organisasi), bukan dakwah jam’iyyah qabla Islamiyyah (mengenalkan jama'ah/organisasi sebelum mengenalkan Islam).


"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap memelajarinya." (QS. ali-‘Imran [3]: 79).

Sayyid Quthb di dalam Fii Zhilaalil Qur’an (di bawah naungan al-Qur’an), ketika menafsirkan ayat di atas mengemukakan:
"Seorang nabi pasti meyakini bahwa dirinya adalah hamba sedangkan Allah adalah Tuhan yang patut disembah. Dia tidak mungkin mengklaim bahwa dirinya ada sifat ketuhanan yang mengharuskan manusia menyembahnya. Seorang nabi tidak mungkin mengatakan kepada manusia: “Sembahlah aku disamping Allah.” Tapi, dia akan mengatakan: “Jadilah kalian orang-orang Rabbani, (yaitu mereka yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah). Sembahlah Allah semata dan ambillah dari-Nya saja sistem kehidupan." Dengan bertaqwa, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dan mengembangkan ilmu tentang Al Kitab, maka seseorang akan menjadi Rabbani.”


Cara menyampaikan dakwah kepada ummat manusia harus dengan cara yang hikmah dan pengajaran yang baik. Sampaikan dakwah itu dengan tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil. Perhatikan dan pahami terlebih dahulu orang yang akan kita dakwahi (mad’u) terkait dengan usia, latar belakang kehidupannya, psikologi, pendidikan, status, dan lingkungannya. Dan sentuhlah jiwanya, maka akan berubahlah prilakunya.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]: 125)

KEUTAMAAN DAKWAH
Berdakwah merupakan aktifitas dan ibadah yang mulia di sisi Allah. Dakwah merupakan amalan para Nabi, Rasul dan orang-orang yang peduli terhadap kelanjutan Risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Panji-panji dakwah harus senantiasa diusung oleh setiap pribadi muslim sehingga terwujudnya masyarakat yang beribadah kepada Allah swt saja dengan melaksanakan segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya. Pekerjaan mulia ini dalam pelaksanaannya akan menghadapi tantangan dan rintangan, sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat terdahulu. Mereka yang berdakwah menegakkan agama Allah di permukaan bumi ini akan dituduh dan dituding sebagai orang gila, fundamentalis, ekstirimis bahkan sekarang dikatakan sebagai teroris. Apakah kita akan lari dari dakwah? Atau meninggalkan para da’i melakukan dakwahnya sendiri? Saya yakin jawabannya adalah: TIDAK!

Rasulullah pernah didatangi oleh pembesar-pembesar Quraisy yang kafir, tujuannya mengajak kompromi Rasulullah saw agar menghentikan dakwahnya. Dan sebagai kompensasinya Rasul saw akan diberikan wanita yang tercantik di tanah Arab, harta yang banyak dan tahta atau kedudukan yang mulia di tengah-tengah masyarakat Arab. Apakah Rasul saw menerima tawaran tersebut? Tidak, sekali lagi tidak! Karena dakwah adalah tugas para Nabi dan Rasul, amalan yang mulia di sisi Allah dan ganjarannya sangat besar bagi siapa saja yang melakukannya. Sekiranya matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan diletakkan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah, maka aku tidak akan menghentikannya, begitulah ungkapan Rasulullah saw.
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS: Fushshilat [41]: 33)

"Barangsiapa yang menunjukkan ke arah kebaikan, maka ia berhak memperoleh pahala seperti pahala yang melakukannya.” (HR. Muslim)

"Barangsiapa mengajak pada petunjuk maka ia berhak mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, tidak dikurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang mengajak pada kesesatan maka ia berhak memikul dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

"Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui kamu itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR.Muttafaqun ‘alaih).


IMUNITAS BERDAKWAH

Para da’i dan pendukung dakwah dapat mengalami degradasi di dalam perjalanan hidupnya bersama dakwah. Dan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan berhenti dan terpental bahkan kontra terhadap dakwah. Untuk menghindari itu semua, diperlukan beberapa hal yang harus dimiliki dalam berinteraksi dengan dakwah, yaitu:

Pertama, Ikhlash.
Ikhlash adalah menghadapkan amal dan mendekatkan diri kepada Allah semata, tiada sedikitpun terdapat unsur riya’ dan sum’ah (memperdengarkan amal kepada orang lain) di dalamnya, dan tidak pula untuk meraih maksud dan tujuan yang semu, dan tidak pula dibuat-buat (pura-pura), tetapi hanya mengharap pahala dan balasan Allah, dan takut akan adzab-Nya serta ingin mendapatkan ridha-Nya.

Niat yang ikhlash karena Allah dalam berdakwah akan memberikan kenikmatan yang tiada terhingga. Dunia akan terasa luas, yang berat akan menjadi ringan, yang jauh dapat menjadi dekat, yang sukar akan menjadi mudah, yang sedikit akan terasa banyak, tidak ada rasa kecewa di dalam hati. Jika ikhlash sudah menjadi dasar dalam setiap aktifitas dan amal setiap insan (al-Ikhlashu mabda-una), maka kita akan semangat melakukan dakwah dan itu dilakukan tanpa mengharapkan materi dan pujian, kecuali ridha Allah semata. Sebaik-baik balasan adalah balasan yang datang dari Allah, sebaik-baik pemberian adalah pemberian yang datang dari Allah. Sebaik-baik pujian adalah pujian yang datang dari Allah.
Ikhlash merupakan tanda orang beriman yang baik, ruh amal seorang dai, dan puncak dari kecintaan seorang hamba kepada Khaliknya, Allah swt.

Kedua, Ihsan.
Suatu hari Rasulullah saw yang sedang duduk bersama para sahabat didatangi oleh seorang laki-laki yang sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya. Dia bertanya kepada Rasul saw tentang iman, islam dan ihsan. Ketika dia bertanya tentang ihsan, maka Rasul saw menjelaskan bahwa ihsan adalah Anda menyembah Allah seolah-olah anda melihat-Nya. Meskipun anda tidak melihat-Nya, Dia melihat anda. (HR.Muslim).

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa setiap muslim apabila melakukan suatu amal/aktifitas terutama dakwah sesuai dengan konsep ihsan, maka dia akan ikhlash dalam niatnya (lillahi ta’ala), rapi dalam amalnya (itqaanul ‘amal) dan akan menyelesaikan amal tersebut dengan tuntas (jaudatul adaa-i) secara baik dan benar. Sehingga ketika berdakwah, dia akan melakukan dengan sepenuh hati dan tidak akan berhenti di tengah jalan. Sikap ini akan memberikan pengaruh yang besar kepada umat secara menyeluruh, umat akan bersimpati dan kagum terhadap setiap da'i dan para aktifis dakwah yang ihsan dalam melakukan aktifitasnya.

Ketiga, Istiqamah.
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah“ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS. Fushshilat [41]: 30)

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan :”Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak (pula) berduka cita." (QS. al-Ahqaaf [46]: 13)

Pada dua ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan diamalkan dalam perbuatan. Akan menghasilkan seorang yang istiqamah dalam agama dan perjuangannya. Orang yang istiqamah akan berani (syajaa-‘ah) menghadapi tantangan dan rintangan yang sengaja disebar oleh orang-orang kafir atau munafik. Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam dirinya ketika menghadapi orang-orang yang zhalim. Dia hanya takut kepada Allah saja. Orang yang istiqomah akan tenang dan tidak gelisah ketika menghadapi suasana yang galau dan menakutkan, karena dia yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah akan membantu dan menolongnya ketika dalam kesulitan. Selain itu, orang yang istiqomah akan senantiasa optimis (tafaa-ul) dalam setiap perjuangannya khususnya dalam berdakwah. Dia yakin bahwa dakwah yang sedang dilakukan akan berhasil dengan baik selama tetap berada dalam manhaj para nabi dan rasul. Mungkin dia belum merasakan hasilnya dari dakwah yang dilakukan selama ini, dia tetap optimis suatu ketika buah dakwah akan bermunculan dengan lebatnya dan akan memberikan manfaat yang besar kepada umat. Ketahuilah bahwa usia dakwah lebih panjang dari usia kita. Wallahu a’lam bish-bishowab. [][]
(Labbaik-crew)